ILMU SOSIAL DASAR (Tugas Periode 3)


NAMA  : MAHDIF INDIARTO
KELAS : 1IB01
NPM     :13415987


9. ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN KEMISKINAN



9.1 ILMU PENGETAHUAN


A. PENGERTIAN

Ilmu (ilmu pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Menurut Decartes ilmu pengetahuan merupakan serba budi; oleh Bacon dan David Home diartikan sebagai pengalaman indera dan batin; menurut Immanuel Kant pengetahuan merupakan persatuan antara budi dan pengalaman; dan Teori Phyroo mengatakan, bahwa tidak ada kepastian dalam pengetahuan.

B. SIKAP YANG BERSIFAT ILMIAH

Untuk mencapai suatu pengetahuan yang ilmiah dan obyektif diperlukan sikap yang bersifat ilmiah, yang meliputi empat hal yaitu :
  1. Tidak ada perasaan yang bersifat pamrih sehingga menacapi pengetahuan ilmiah yang obeyktif.
  2. Selektif, artinya mengadakan pemilihan terhadap problema yang dihadapi supaya didukung oleh fakta atau gejala, dan mengadakan pemilihan terhadap hipotesis yang ada
  3. Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tak dapat diubah maupun terhadap indera dam budi yang digunakan untuk mencapai ilmu
  4. Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori maupun aksioma terdahulu telah mencapai kepastian, namun masih terbuka untuk dibuktikan kembali.

9.2 TEKNOLOGI


Teknologi adalah satu ciri yang mendefinisikan hakikat manusia yaitu bagian dari sejarahnya meliputi keseluruhan sejarah. Teknologi, menurut Djoyohadikusumo (1994, 222) berkaitan erat dengan sains (science) dan perekayasaan (engineering). Dengan kata lain, teknologi mengandung dua dimensi, yaitu science dan engineering yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sains mengacu pada pemahaman kita tentang dunia nyata sekitar kita, artinya mengenai ciri-ciri dasar pada dimensi ruang, tentang materi dan energi dalam interaksinya satu terhadap lainnya.

Fenomena teknik pada masyarakat kini, menurut Sastrapratedja (1980) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
  1. Rasionalistas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional
  2. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah
  3. Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan secara otomatis. Demikian juga dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan non teknis menjadi kegiatan teknis
  4. Teknik berkembang pada suatu kebudayaan
  5. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung
  6. Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan
  7. Otonomi artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.

Teknologi yang berkembang dengan pesat meliputi berbagai bidang kehidupan manusia. Luasnya bidang teknik digambarkan sebagai berikut :
  1. Teknik meluputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkan barang-barang industri. Dengan teknik, mampu mengkonsentrasikan capital sehingga terjadi sentralisasi ekonomi
  2. Teknik meliputi bidang organisasional seperti administrasi, pemerintahan, manajemen, hukum dan militer
  3. Teknik meliputi bidang manusiawi. Teknik telah menguasai seluruh sektor kehidupan manusia, manusia semakin harus beradaptasi dengan dunia teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik.

Alvin Tofler (1970) mengumpamakan teknologi itu sebagai mesin yang besar atau sebuah akselarator (alat pemercepat) yang dahsyat, dan ilmu pengetahuan sebagai bahan bakarnya. Dengan meningkatnya ilmu pengetahuan secara kuantitatif dan kualtiatif, maka kiat meningkat pula proses akselerasi yagn ditimbulkan oleh mesinpengubah, lebih-lebih teknologi mampu menghasilkan teknologi yang lebih banyak dan lebih baik lagi.

Ciri-ciri teknologi barat adalah sebagai berikut :
  1. Bersifat Intensif pada semua kegiatan manusia
  2. Cenderung bergantung pada sifat ketergantungan
  3. Selalu berpikir bahwa barat adalah pusat dari segala teknologi

9.3 ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI, DAN NILAI

  1. Ilmu Pengetahuan adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum sebab-akibat dalam suatu golongan masalah untuk mengenali kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.
  2. Teknologi, menurut Djoyohadikusumo (1994, 222) berkaitan erat dengan sains (science) dan perekayasaan (engineering). Dengan kata lain, teknologi mengandung dua dimensi, yaitu science dan engineering yang saling berkaitan satu sama lainnya untuk mempermudah pekerjaan manusia.
  3. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia.

9.4 KEMISKINAN


A. PENGERTIAN

Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh, dan lain-lain. 
Garis kemiskinan yang menentukan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, bisa dipengaruhi oleh tiga hal :
  1. Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan
  2. Posisi manusia dalam lingkungan sekitar
  3. Kebutuhan objektif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi

B. CIRI-CIRI MANUSIA YANG HIDUP DIBAWAH GARIS KEMISKINAN

  1. Tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, keterampilan, materi.
  2. Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kemampuan sendiri seperti modal untuk usaha.
  3. Tingkat pendidikan yang rendah.
  4. Umumnya tinggal di pedesaan sebagai pekerja bebas atau berusaha apa saja, sesuai dengan peluang yang datang.
  5. Banyak yang hidup di perkotaan, namun tidak memiliki keterampilan.

C. KATEGORI KEMISKINAN MENURUT ORANG UMUM

Kemiskinan menurut orang lapangan (umum) dapat dikatagorikan kedalam tiga unsur:
  1. Kemiskinan yang disebabkan handicap badaniah ataupun mental seseorang
  2. Kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam
  3. Kemiskinan buatan. Yang relevan dalam hal ini adalah kemiskinan buatan, buatan manusia terhadap manusia pula yang disebut kemiskinan structural. Itulah kemiskinan yang timbul oleh dan dari struktur-struktur buatan manusia, baik struktur ekonomi, politik, sosial maupun cultural. Selaindisebabkan oleh hal – hal tersebut, juga dimanfaatkan oleh sikap “penenangan” atau “nrimo”, memandang kemiskinan sebagai nasib, malahan sebagai takdir Tuhan. Kemiskinan menjadi suatu kebudayaan atau subkultur, yang mempunya struktur dan way of life yang telah turun temurun melalui jalur keluarga. Kemiskinan (yagn membudaya) itu disebabkan oleh dan selama proses perubahan sosial secara fundamental, seperti transisi dari feodalisme ke kapitalisme, perubahan teknologi yang cepat, kolonialisme, dsb.obatnya tidak lain adalah revolusi yang sama radikal dan meluasnya.

SOAL


1. Pengetahuan merupakan persatuan antara budi dan pengalaman, dikemukakan oleh?
a. Immanuel Kant*
b. Decartes
c. Bacon
d. David Home

2. Menurut Sastrapratedja (1980) fenomena teknik pada masyarakat memiliki ciri-ciri, kecuali...
a. Otonomi
b. Universialisme
c. Objektifitas*
d. Rasionalitas

3. Kemiskinan menurut orang lapangan (umum) dapat dikatagorikan kedalam tiga unsur, kecuali...
a. Kemiskinan yang disebabkan handicap badaniah ataupun mental seseorang
b. Kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam
c. Kemiskinan buatan
d. Kemiskinan yang disebabkan keturunan*

4.  Teknologi itu sebagai mesin yang besar atau sebuah akselarator (alat pemercepat) yang dahsyat, dan ilmu pengetahuan sebagai bahan bakarnya, ungkapan diatas dikemukakan oleh?
a. Sastrapratedja
b. Djoyohadikusumo
c. Alvin Tofler*
d. Bacon

5. Sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia, merupakan pengertian dari?
a. Nilai*
b. Harga
c. Kuantitas
d. Mutu


10. AGAMA DAN MASYARAKAT


10.1 FUNGSI AGAMA


Aspek yang perlu dipelajari dalam membahas fungsi agama adalah kebudayaan, social dan kepribadian. Ketiga aspek tersebut merupakan kompleks fenomena social terpadu yang pengaruhnya dapa diamati dalam perilaku manusia. Fungsi agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan; dan agama dipandang sebagai mekanisme penysuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur kehidupan, memenuhi kebutuhan masyarakat. Contohnya dalam melakukan transaksi jual beli agama berperan dalam menjaga kepercayaan manusia yang satu dengan yang lainnya dalam melakukan transaksi. 

Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Dimensi komitmen agama, menurut Roland Robertson (1984), diklarifikasikan berupa keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi.
  • Dimensi keyakinan harapan bahwa orang yang religius akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran agama.
  • Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melakukan komitmen agama secara nyata.
  • Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu. Yaitu orang yang benar-benar religious pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tinggi.
  • Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan bahwa orang yang religius akan memiliki informasi tentang ajaran pokok keagamaan.
  • Dimensi konsekuensi dari komitmen religious berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.

Masyarakat-masyarakat Industri Sekular

Masyarakat industri bercirikan dinamika dan semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penesuaian-penyesuaian dalam hubungan-hubungan kemanusiaan sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya adalah anggota masyarakat semakin terbiasa menggunakan metode empiris berdasakan penalarandan efisiansi dalam menanggapi masalah kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat secular semakin meluas, seringkali dengan pengorbanan lingkungan yang sakral. Watak masyarakat sekuler menurut Roland Robertson (1984), tidak terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan agama peranannya sedikit.

10.2 PELEMBAGAAN AGAMA


Agama begitu universal, permanen dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, akan sukar memahami masyarakat. Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak tergambar secara benar dan utuh.
  • Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral.
    Masyarakat ini berjumlah kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama yang sama. Agama memasukan pengaruh yang sakral ke dalam system masyarakat mereka.
  • Masyarakat-masyarakat Praindustri yang sedang Berkembang.
    Keadaan masyarakat tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe sebelumnya. Agar memberikan arti dan ikatan kepada system nilai dalam tiap masyarakat ini, tetapi saat yang sama lingkunngan yang sacral dan yang secular itu sedikit banyak masih di bedakan.
  • Masyarakat-masyarakat Praindustri yang Maju.
    Bersifat rasional dan berfikir ilmiah dalam pendekatan agama sehingga mengarah ke tingkah laku yang ekonomis dan teknologis. Sifat-siaft agama hampir tidak mungkin dipandang dengan sikap yang netral. Bila sifat rasional penuh dalam membahas agama yang ada pada manusia, maka berati bersifat nonagama.

10.3 AGAMA, KONFLIK, DAN MASYARAKAT

Secara sosiologis, Masyarakat agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain. 

Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.

Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.

Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.

Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.

Konflik yang ada dalam Agama dan Masyarakat

Di beberapa wilayah, integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.

Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.

Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.

Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.

SOAL


1. Berikut ini klarifikasi dimensi komitmen agama, menurut Roland Robertson (1984), kecuali...
a. Keyakinan
b. Pengalaman
c. Pengetahuan
d. Keturunan*

2. Beikut ini aspek yang perlu dipelajari dalam membahas fungsi agama, kecuali...
a. Kebudayaan
b. Pendidikan*
c. Sosial
d. Kepribadian

3. Dibawah ini yang bukan tipe pencerminan dari kaitan agama dengan masyarakat yaitu?
a. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral.
b. Masyarakat-masyarakat praindustri yang sedang berkembang.
c. Masyarakat-masyarakat praindustri yang maju.
d. Masyarakat-masyarakat menengah keatas.*

4. Dimensi yang dikaitkan dengan perkiraan bahwa orang yang religius akan memiliki informasi tentang ajaran pokok keagamaan, yaitu?
a. Dimensi Keyakinan
b. Dimensi Pengetahuan*
c. Dimensi Konsekuensi
d. Dimensi Pengalaman

5. Dimensi yang memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu?
a. Dimensi Keyakinan
b. Dimensi Pengetahuan
c. Dimensi Konsekuensi
d. Dimensi Pengalaman*